apa boleh makan makanan yang dibuat untuk acara maulid ustadz??

No comments:

apa boleh makan makanan yg dibuat utk acara maulid ustadz??

*Jawaban :*

_(Kami menjawab dengan sebuah tulisan Al-Ustadz Dzulqarnain M. Sunusi, dari web resmi beliau www.dzulqarnain.net)_

Terdapat sejumlah pertanyaan seputar makanan-makanan yang berasal dari acara-acara bid’ah atau yang tidak disyari’atkan. Berikut beberapa fatwa ulama tentang hal tersebut.
Guru kami, Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbâd Al-Badr, pernah ditanya, “Apakah boleh memakan makanan ahlul bid’ah? Perlu diketahui bahwa mereka membuat makanan ini untuk bid’ah tersebut, seperti makanan untuk maulid Nabi.
Beliau menjawab, “Yang wajib adalah mengingatkan mereka untuk menjauhi bid’ah-bid’ah dan meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan. Terhadap seorang manusia, (kita mengingatkan) agar tidak memakan makanan yang dibuat untuk perkara-perkara bid’ah dan perkara-perkara yang diharamkan.” [Pelajaran Sunan Abu Dawud, kaset no. 137]
Dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Dâ`imah 22/270-271 yang ditandatangani oleh Syaikh Abdul ‘Aziz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Shalih Al-Fauzân, dan Syaikh Bakr Abu Zaid, disebutkan tanya-jawab sebagai berikut.

_“Apa hukum memakan makanan yang dipersiapkan untuk acara-acara tertentu atau suatu kebiasaan, seperti memakan makanan musim semi yang siapkan dengan tepung putih dan tanaman ketika musim semi telah tiba?”_

Jawaban

Apabila makanan-makanan ini tidak berhubungan dengan hari-hari raya dan acara-acara bid’ah, serta tidak ada penyerupaan terhadap orang-orang kafir, tetapi hanya kebiasaan-kebiasaan untuk menganekaragamkan makanan seiring pergantian musim, tidak masalah dalam memakannya karena asal dalam kebiasaan adalah pembolehan.”
Dari jawaban di atas, tampak bahwa pensyaratan pembolehan adalah bila tidak berhubungan dengan hari-hari raya dan acara-acara bid’ah, serta tidak ada penyerupaan terhadap orang-orang kafir.

Risalah Ilmiyah An-Nashihah, vol. 09 Th. 1/1426 H/2005 M, hal. 2-3, memuat tanya-jawab berikut.

Pertanyaan :
Di negeri kami, sebagian orang mengadakan perayaan maulid dan perayaan-perayaan bid’ah lainnya. Kemudian mereka mengirim sebagian makanan dari perayaan-perayaan tersebut ke rumah kami. Apakah kami boleh memakannya?

Jawaban

Mufti Umum Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Âlu Asy-Syaikh, pada malam Jum’at, 8 Sya’ban 1425 H, bertepatan dengan 29 September 2004, menjawab sebagai berikut.
“Wallahu a’lam, tentang acara-acara yang diselenggarakan untuk perkara-perkara bid’ah, tidaklah boleh memakan (makanan) pada (acara) tersebut karena makanan tersebut diletakkan di atas hal yang tidak disyariatkan.”

Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al-Bukhâry, pada sore 5 Syawal 1425 H, bertepatan dengan 17 November 2004, menjawab sebagai berikut.

“Makanan perayaan-perayaan maulid adalah bid’ah dalam agama -menurut (pendapat) yang benar- dan menyelisihi petunjuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat beliau. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana dalam kitab Ash-Shahîhain (Shahîh Al-Bukhâry dan Shahih Muslim),

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru, dalam agama kami, yang tidak termasuk dari (agama) tersebut, (perkara) itu tertolak.”

Tentunya, manusia tidak hanya terbatas dengan mengadakan maulid-maulid, bid’ah-bid’ah seperti perayaan maulid ini, perayaan-perayaan lain yang berkaitan dengan hal seperti ini, bahkan mereka juga menambahnya dengan sembelihan-sembelihan dan berbagai jenis makanan. Oleh karena itu, kiriman makanan tersebut kepada manusia, menurutku, tidaklah pantas untuk diambil dan dimakan karena ada bentuk menolong ahlil bid’ah ‘pelaku bid’ah’. Jika seseorang melihat seorang Sunni (pengikut sunnah), atau selainnya, mengambil atau memakan makanan seperti itu dan membolehkan hal seperti ini untuk dirinya, manusia akan menjadi bingung sehingga mereka tidak mengetahui yang haq dari yang batil. Maka, manusia seharusnya diberitahu bahwa hal seperti ini tidaklah boleh dan makanan-makanan seperti itu tidaklah boleh, juga bahwa tidaklah pantas menghidupkan bentuk (perayaan) seperti ini. Jelaskanlah kepada mereka, ingatkanlah mereka, dan buatlah mereka takut terhadap Allah Jalla wa ‘Azza.
Sesungguhnya, makanan seperti ini seharusnya ditinggalkan berdasarkan atsar Abu Bakr radhiyallâhu ‘anhu bahwa seorang maulanya (budaknya) menghadiahkan makanan kepadanya kemudian berkata, ‘Makanan ini berasal dari perdukunan yang saya lakukan pada masa jahiliyah.’ Maka, Abu Bakr memasukkan tangannya lalu mengeluarkan makanan tersebut dari perutnya, seraya berkata, ‘Demi Allah, andaikata Saya tahu bahwa ruhku akan keluar bersama makanan tersebut, niscaya saya akan mengeluarkan (ruhku).’[1] Hal ini menunjukkan kesempurnaan wara’ beliau radhiyallâhu ‘anhu. Maka, dibangun di atas dasar nash ini dan selainnya, seseorang tidaklah pantas membantu orang-orang tersebut serta tidak boleh memakan makanannya, tetapi meninggalkan (makanan) itu. Itulah yang terbaik.”
Demikian fatwa-fatwa ulama kita yang tidak memperbolehkan.
Dalam catatan kaki Hâsyiyah Fathul Majîd, Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz meluruskan pendapat Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqiy. Di antara penjelasan beliau adalah, “… akan tetapi, bila makanan tersebut berasal dari daging sembelihan kaum musyrikin, lemak, atau kuah (daging) itu, hal tersebut adalah haram karena sembelihan (kaum musyrikin) berada pada hukum bangkai sehingga menjadi haram dan menajisi makanan yang bercampur dengannya. Berbeda dengan roti dan yang semisalnya berupa hal-hal yang tidak bercampur dengan suatu sembelihan kaum musyrikin apapun, hal tersebut adalah halal bagi siapa saja yang mengambilnya ….”

[1] Dalam konteks riwayat Al-Bukhâry no. 3842 dari hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ, Aisyah bertutur,

كَانَ لِأَبِي بَكْرٍ غُلاَمٌ يُخَرِّجُ لَهُ الخَرَاجَ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ يَأْكُلُ مِنْ خَرَاجِهِ، فَجَاءَ يَوْمًا بِشَيْءٍ فَأَكَلَ مِنْهُ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَ لَهُ الغُلاَمُ: أَتَدْرِي مَا هَذَا؟ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: وَمَا هُوَ؟ قَالَ: كُنْتُ تَكَهَّنْتُ لِإِنْسَانٍ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَمَا أُحْسِنُ الكِهَانَةَ، إِلَّا أَنِّي خَدَعْتُهُ، فَلَقِيَنِي فَأَعْطَانِي بِذَلِكَ، فَهَذَا الَّذِي أَكَلْتَ مِنْهُ، فَأَدْخَلَ أَبُو بَكْرٍ يَدَهُ، فَقَاءَ كُلَّ شَيْءٍ فِي بَطْنِهِ

“Adalah Abu Bakr memiliki seorang budak yang memberi setoran kepadanya, dan Abu Bakr makan dari setoran tersebut. Pada suatu hari, budak itu datang membawa sesuatu, dan Abu Bakr memakan (sesuatu) itu. Budak tersebut berkata kepadanya, ‘Tahukah engkau, apa ini?’ Abu Bakr balik bertanya, ‘Apa ini?’ (Budak) itu menjawab, ‘Dahulu, Saya melakukan perdukunan pada seseorang di masa jahiliyah. Saya sebenarnya tidak pandai melakukan perdukunan tersebut, tetapi Saya menipunya. Lalu, ia memberi (makanan) tersebut kepadaku, dan inilah makanan yang telah engkau makan.’ Maka, Abu Bakr memasukkan tangannya lalu memuntahkan seluruh isi  perutnya.”

http://dzulqarnain.net/hukum-makanan-dari-perayaan-bidah.html

Iman Menuntut Perlakuan Baik Pada Jiran dan Tetamu

No comments:

Iman Menuntut Perlakuan Baik Pada Jiran dan Tetamu

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

Dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat, janganlah ia mengganggu tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat hendaknya ia memuliakan tetamunya dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhirat hendaknya ia berkata yang baik atau diam." (HR Bukhari No: 5559) Status: Sahih

Pengajaran:

Orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat berkewajipan menunaikan tanggungjawab sebagai bukti keimanannya antaranya:

a.  Berlaku baik kepada jiran tetangga dan tidak menyusahkan mereka.

b.  Memuliakan tetamu

c.  Bertutur sesuatu yang baik (termasuk menulis) atau diam (tidak bercakap atau menulis sesuatu yang tidak baik).

Moga kita menjadi orang beriman yang sentiasa menunaikan tanggungjawab berbuat baik kepada jiran tetangga dan memuliakan tetamu disamping bercakap perkara yang baik dan mendatangkan manfaat.

Mengutamakan Jiran Terdekat Dalam Berhadiah

No comments:

Mengutamakan Jiran Terdekat Dalam Berhadiah

أَبُو عِمْرَانَ قَالَ سَمِعْتُ طَلْحَةَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا

Abu 'Imran berkata; Aku mendengar Tolhah bin 'Abdullah dari 'Aisyah radliallahu 'anha ' Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, aku punya dua tetangga, kepada siapa dari keduanya yang paling berhak untuk aku beri hadiah?" Beliau bersabda: "Kepada yang paling dekat pintu rumahnya darimu".(HR Bukhari No: 2099) Status: Sahih

Pengajaran:

1.  Berbuat baik dengan jiran melalui pemberian dan saling berhadiah contohnya dalam bentuk makanan dan buahan.

2.  Saling berhadiah akan mengikat ukhuwah dan kasih sayang

3.  Berilah hadiah pada jiran yang paling berhak iaitu yang paling hampir dengan rumah kita

Jika kita memiliki limpahan rezeki, jangan lupa menghadiahkan sedikit kepada jiran tetangga. Moga sifat rahmah yang ada pada kita akan menjadikan kehidupan bermasyarakat lebih harmoni.

Mukmin Tidak Membiarkan Jiran Kelaparan

No comments:

Mukmin Tidak Membiarkan Jiran Kelaparan

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ , عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالَّذِي يَشْبَعُ وَجَارُهُ جَائِعٌ.

Dari Ibnu Abas dari Nabi SAW: Tidak termasuk orang mukmin, orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan (HR at Tabrani No:  12579) Status: Sahih

Pengajaran:

1.  Antara bukti keimanan seseorang adalah memiliki sifat prihatin terhadap kesusahan tetangga.

2.  Tidak beriman seseorang yang tidur dalam kekenyangan sedangkan ada jiran tetangga yang kelaparan.

3.  Jadilah kita orang yang sentiasa berusaha menyantuni dan berbuat baik

03hb Februari  2017
06hb Jamadil Awal 1438H

Loefa-Cebook Facebook

Al Quran Wal Hadith

Categories